Tugas Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta berakhir pada 16 Oktober 2022. Lantas, seperti apa kinerja Anies selama 5 tahun memimpin Ibu Kota?
Hal ini menjadi sorotan Pengamat Kebijakan Publik Sugiyanto (SGY). Ia menyampaikan sejumlah catatan terkait kinerja Anies selama menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Secara garis besar, SGY menilai Anies gagal mengelola APBD DKI Jakarta untuk menyelesaikan berbagai persoalan klasik di Ibu Kota. Baginya, jargon Anies ‘Maju Kotanya, Bahagia Warganya’ menjadi sia-sia atau tak berguna, bahkan gagal total.
SGY memaparkan, selama 5 tahun memimpin, lewat APBD DKI Jakarta, Anies Baswedan diperkirakan telah menggelontorkan duit rakyat sebesar Rp 395,74 triliun. Angka ini dihitung dari APBD-P tahun 2018 hingga APBD-P tahun 2021 dan APBD murni tahun 2022.
Adapun perkiraan rinciannya adalah, pada APBD-P 2018 sebesar Rp 83,26 triliun, APBD-P 2019 Rp 86,89 triliun, APBD-P 2020 Rp 63,23 triliun, APBD-P 2021 Rp 79,89 triliun dan APBD murni 2022 Rp 82,47 triliun.
Dengan total APBD berkisar Rp 395,74 triliun tersebut, seharusnya Anies Baswedan dapat meningkatkan indeks kebahagiaan Provinsi DKI Jakarta. Artinya tingkat kebahagian masyarakat Jakarta juga harus ikut naik.
"Namun faktanya, indeks kebahagiaan Jakarta pada tahun 2021 berada pada tingkat kedelapan terendah dengan skor hanya 70,68. Angka skor kebahagian Provinsi DKI Jakarta 70,69 ini menurun 0,65 point dibandingkan dengan skor tahun 2017 yakni 71,33," kata SGY dalam keterangannya, Sabtu (15/10/2022).
SGY menyampaikan, informasi data tersebut didapat dari laman resmi BPS. Indeks tentang Kebahagiaan Daerah (Provinsi) ini diukur menggunakan 3 (tiga) dimensi. Dimensi pertama diukur berdasarkan kepuasan hidup warga (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia).
Masih merujuk pada data BPS, ungkap SGY, diketahui Banten berada di urutan terbawah daerah yang paling tidak bahagia penduduknya di Indonesia dengan nilai indeks di angka 68,08. Sedangkan Provinsi DKI Jakarta berada di urutan kedelapan dengan nilai indeks 70,68.
Provinsi Bengkulu, berada pada tingkat kedua dengan skor 69,74, disusul Papua diposisi ketiga, skor 69,87, dan keempat Nusa Tenggara Barat, skor 69,98. Daerah dengan tingkat indeks kebahagiaan terendah kelima yakni Jawa Barat, skor 70,23, kemudian ke enam Nusa Tenggara Timur, skor 70,3, lalu ke tujuh Sumatera Utara, skor 70,57.
Kemudian Provinsi DKI Jakarta berada pada posisi ke delapan, skor 70,68, diikuti Provinsi Aceh diposisi kesembilan, skor 71,24, dan terakhir Provinsi Sumatera Barat, skor 71,34.
Menurut SGY, memperhatikan skor angka indeks kebahagiaan DKI Jakarta yang hanya 70,68, maka hal ini dapat dianggap sebagai wujud kegagalan Gubernur Anies dalam membahagiakan warganya.
"Jargon Anies ‘Maju Kotanya, Bahagia Warganya’ menjadi sia-sia atau tak berguna dan gagal total," ujar Ketua Masyarakat Pemerhati Jakarta Baru (KATAR) itu.
Lalu bagaimana dengan persoalan Jakarta lainnya?. Apakah dengan total APBD yang berkisar Rp 395,74 triliun itu dapat menyelesaikan persoalan klasik Jakarta?
"Sepertinya pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas tak perlu dijawab lantaran indeks Kebahagiaan DKI Jakarta saja gagal ditingkatkan. Ini artinya Gubernur Anies dapat juga dianggap telah gagal meningkatkan kebahagiaan warga Jakarta," tutur SGY.
"Tetapi demi transparansi perlu juga menjelaskan kegagalan Anies, yakni gagal mengatasi masalah klasik Jakarta. Diantaranya, Gubernur Anies gagal mengatasi masalah klasik, yaitu banjir Jakarta. Artinya di era Gubernur Anies, Jakarta masih saja tetap diterjang banjir," sambungnya.
Gubernur Anies, lanjutnya, juga gagal mengatasi masalah klasik lainnya, yakni macet Jakarta. Dalam hal ini, khususnya gagal menyelenggarakan sistem Elektronik Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar.
"Padahal ERP sudah digagas Gubernur Jokowi sejak tahun 2013. Kemudian pada era Gubernur Ahok, ERP juga telah dilakukan uji coba. Bahkan pemenang tender ERP juga sudah ada. Kebijakan ERP diyakini bisa mengurai kemacetan Jakarta dengan dasar prinsip keadilan, bukan dengan kebijakan ganjil genap," jelasnya.
Selain itu, SGY menilai Gubernur Anies juga gagal mengatasi masalah klasik sampah, yakni mengadakan tempat pengelolaan sampah modern atau Intermediate Treatment Facility (ITF).
"Sedangkan program ITF sudah disusun saat era Gubernur Fauzi Bowo (Foke). Bahkan Gubernur Anies juga telah melakukan Groundbreaking ITF Sunter pada 20 Desember 2018. Tetapi sampai saat ini ITF belum terwujud," ungkapnya.
SGY menambahkan, kegagalan lain Gubernur Anies yakni program Rumah DP Rp 0. Program ini gagal lantaran targetnya membangun 232.214 unit. Sedangkan sampai saat ini Pemprov DKI Jakarta hanya berhasil membangun 2.322 unit hunian DP Rp 0.
"Hal Ini menjadi fatal lantaran Perda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2022 yang berkaitan dengan program Rumah DP Rp 0 juga belum direvisi," bebernya.
SGY menyatakan, beberapa uraian tentang kegagalan Gubernur Anies di atas kiranya cukup dijadikan dasar untuk mempertanyakan penggunaan duit rakyat berkisar 395,74 triliun tersebut.
"Artinya Gubernur Anies Baswedan dapat dianggap telah gagal menggunakan duit rakyat tersebut untuk mengatasi persoalan klasik Ibu Kota DKI Jakarta. Dengan demikian, maka masyarakat dapat menilai kinerja Gubernur Anies Baswedan secara objektif dan apa adanya selama 5 tahun ini," tutupnya.
No comments:
Post a Comment