Sunday, January 21, 2024

ANIES ATASI MASALAH DENGAN RETORIKA, MANA BISA?

Anies Baswedan dikenal sebagai ilmuwan, dosen. Doi pernah menjadi rektor Universitas Paramadina, Jakarta. Ketika itu dia dikenal dengan gagasannya "Indonesia Mengajar". Maka ketika dirinya dengan jeli bersandar pada capres Jokowi tahun 2014, tepat sekali dia dijadikan menteri pendidikan.

Penulis sangat optimistis dengan posisi Anies tersebut, dan mulai yakin bahwa permasalahan pendidikan di Indonesia tidak lagi menjadi polemik sepanjang masa. Sejak dulu sistem pendidikan di Indonesia selalu berubah sesuai pergantian menterinya. Maka ada istilah: ganti menteri ganti sistem.

Namun sungguh disayangkan ketika ternyata Anies yang sempat menjadi idola penulis, tidak melakukan apa-apa di kementeriannya itu. Seorang kawan yang bekerja di instansi itu, sekantor dengan Menteri Anies waktu itu, mengatakan bahwa tidak ada gebrakan sejak dia jadi menteri. Penulis tidak percaya, namun kecewa. Sedih ketika dia direshuffle.

Penulis mulai "menyukai" Anies Baswedan tatkala dirinya yang berstatus rektor ketika itu menjadi salah satu moderator penyampaian visi-misi capres Pilpres 2004. Doi yang masih muda itu tampak tampan dan memesona saat memandu pemaparan visi dan misi para capres. Waktu itu dia terlihat akrab dan ramah dengan capres Megawati Soekarnoputri yang saling menyapa dengan "mas" dan "mbak". Anies dan Megawati sama-sama banyak senyum ketika itu.

Namun bintang terang Anies justru datang 10 tahun kemudian (2014), saat merapat ke capres Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla. Hingga akhirnya dia dijadikan menteri pendidikan, meski di tengah jalan direshuffle.

Tapi berita-berita yang bermunculan tentang kinerjanya yang memang tidak kinclong, membuat penulis lambat laun bisa menerima kenyataan bahwa "sang idola" memang tidak seperti yang ada dalam bayangan atau harapan.

Selanjutnya, pandangan dan penilaian Anies penulis terhadap Anies menjadi buruk ketika dia menjadi cagub DKI, tahun 2017, yang mengancam posisi Ahok. Hingga akhirnya nama dan sosok Anies sudah menjadi hitam di mata penulis, antara lain karena dia meraih posisi terakhirnya saat ini, lewat cara yang sangat tidak terpuji.

Sulit dipercaya jika ternyata sosok yang dulu tampak kalem dan simpatik itu, ternyata mendiamkan saja tim sukses atau simpatisannya melakukan berbagai hal yang sangat keji. Semakin parah, karena ternyata dia tidak cuma "tidak bisa" mengimbangi kinerja Ahok. Namun sebaliknya malah dia terkesan menjadi "perusak" pekerjaan Ahok yang sangat spektakuler itu.

Semasa Anies menjadi gubernur -- dan sudah empat tahun -- nyaris tidak ada catatan bagus yang dilihat oleh penulis. Apakah itu karena rasa anti dan sentimen penulis yang memang sudah sampai di ubun-ubun?

Maka minta tolong diingatin atau disebutin kalau memang ada yang bagus, supaya penulis tidak terlalu dalam terjatuh dalam lembah nista, karena dirasuki rasa antipati terhadap seseorang tanpa dasar yang jelas.

Namun lepas dari Anies itu, Anies sepertinya kurang memiliki bekal memadai untuk menjadi gubernur, apalagi untuk sebuah daerah vital semacam DKI Jakarta. Ibu kota mengandung permasalahan yang sangat kompleksitas yang tidak bisa dikelola hanya dengan teori, kata-kata atau retorika.

Soal ini, Anies memang sudah dikenal sebagai ahli tatakata, bukan tatakota. Sejauh ini sudah terbukti bahwa dirinya memang hanya fasih menata kata, bukan mengelola sebuah kota.

Lihat saja buktinya, ketika beberapa waktu lalu banjir melanda kawasan untuk kesekian kalinya, dan pihak Pemda DKI Jakarta pasrah dan bingung oleh kritikan dari berbagai pihak, Anies kok mengajak Menteri PUPR Basuki Hadimuljono berdebat soal banjir Ibu Kota.

Tidak nyambung. Basuki Hadimuljono dikenal sebagai pekerja dan hasilnya nyata. Dia tentu saja tidak akan punya waktu untuk berdebat soal bagaimana mengatasi banjir di Ibu Kota. Sebab apabila misalnya Menteri PUPR itu diperintahkan Presiden Jokowi untuk fokus mengatasi banjir Jakarta, maka dia akan bergerak, tanpa bicara apalagi berdebat.

Sebab satu-satunya cara untuk mengatasi banjir -- dalam konteks ini DKI Jakarta -- adalah melakukan aksi-aksi nyata di lapangan. Bukan misalnya dengan hanya berkata santai bahwa "air yang dialirkan ke laut itu melanggar sunnatullah". Jika memang air itu harus dimasukkan ke dalam tanah, kerjakan, buktikan.

Namun entahlah, apakah yang dimaksud Anies adalah membiarkan air itu meresap sendiri ke dalam tanah, sesuai sunnatullah? Bisa saja, tetapi ini kan wilayah kota besar yang tidak mungkin membiarkan air tergenang dalam waktu yang lama, sebab itu akan mengganggu aktivitas kota. Satu jam saja air menggenangi sebuah kawasan vital dan ramai aktivitas, perekonomian sudah terganggu. Triliunan rupiah uang hilang, kata pengamat.

Pada penghujung tahun 2021 ini, hujan akan rutin turun hingga awal tahun depan. DKI Jakarta yang ternyata belum sigap, kembali mengalami kebanjiran di berbagai lokasi. Tapi bukan Anies namanya kalau tidak berkilah.

Belum lama ini dia mengklaim banjir di DKI Jakarta yang biasanya menelan waktu 3-4 hari untuk surut kini bisa kering kurang dalam satu hari. Tak hanya itu, Anies juga mengklaim air hujan yang datang bisa dikendalikan oleh manusia.

Siapapun tahu bahwa air hujan yang menimbulkan banjir itu memang harus dikendalikan supaya tidak sampai mengganggu aktivitas warga. Statemen teranyar ini dengan sendirinya menganulir bahwa air hujan harus dimasukkan ke dalam tanah.

Anies tidak perlu beretorika bahwa air hujan bisa dikendalikan, sebab semua orang tahu. Yang harus dilakukan Anies dan jajarannya adalah bekerja, meneruskan apa yang telah diperbuat Ahok dan timnya dahulu. Misalnya, mengeruk kali-kali dari ujung ke ujung terus menerus, dan menyiapkan pompa untuk mempercepat buangannya ke laut atau sungai.

Mengatasi banjir itu harus melakukan banyak hal, bukan beretorika. 

No comments:

Post a Comment

CALEG PENGUSUNG ANIES MUHAIMIN PUTUS ALIRAN AIR WARGA KARENA BEDA PILIHAN DUKUNGAN

Akibat beda dukungan pada pemilihan calon anggota DPR RI, aliran air ke rumah salah seorang warga di putus oleh tim sukses. Kondisi mempriha...